Oleh Pastor Antonius Sad Budianto CM
Setiap orang kristiani, lebih-lebih yang telah dibaptis, berarti ambil bagian dalam hidup Yesus. Kepada setiap orang kristiani yang dibaptis dan dicurahi Roh Kudus dengan penuh kasih Allah mengatakan kata-kata yang sama seperti Dia mengatakannya kepada Yesus: “Engkaulah anak yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan” (Luk 3:22 par.). Berkat Roh Kudus yang paling utama dan pertama adalah kita dijadikan anak Allah yang terkasih.
Bukan beban, namun kerinduan untuk mendengarkan dan didengarkan
Oleh karena itu kita tidak seharusnya mendoakan Bapa kami secara serampangan, karena dengan doa yang diajarkan Putra Allah itu keputraan kita juga diteguhkan, bahwa kita juga putra-putri Allah. Dalam doa itu oleh Roh kita dapat menyapa Allah bukan sebagai budak kepada tuannya, namun sebagai anak kepada bapanya dengan mesra : “Abba, ya Bapa” (Rom 8:15). Oleh karena itu pula saat doa bagi kita bukan saat wajib yang membebani sehingga kita lakukan secara minimal, namun saat yang kita rindukan untuk dikasihi dan mengasihi Bapa.
Kita sering merasa bahwa doa adalah saat kita untuk menunjukkan kasih dan hormat kita kepada Tuhan. Padahal yang benar doa pertama-tama adalah saat kita merasakan kasih Bapa, mendengarkan sabda kasihNya. Seperti dikatakan rasul Cinta Kasih: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita …” (1Yoh 4:10). Karena itu kasih sejati diawali dengan mendengarkan sabda Tuhan dan meyakini kasihNya bagi kita. Menyadari hal ini maka doa pertama-tama bukan saat kita berbicara, tapi saat kita mendengarkan sabda kasih Tuhan, Bapa kita. Saat doa sebaiknya diawali dengan membaca (mendengarkan) sabda Tuhan dalam Kitab Suci.
Meneguhkan citra diri sebagai anak Allah dan setia pada panggilanNya
Dari pemahaman tersebut kita lantas bisa mengerti mengapa Yesus, betapapun sibuknya selalu mencari saat hening sendiri dengan BapaNya, entah di pagi hari waktu hari masih gelap, sebelum mulai kegiatannya(Mrk 1:35), atau siang hari saat jeda istirahat (Luk 4:42), ataupun di malam hari, lebih-lebih saat mau mengambil keputusan penting (Luk 6: 12). Bagi Yesus saat itu adalah saat yang meneguhkan hakikatNya yang sejati sebagai Anak Allah di hadapan Bapanya.
Kesetiaan Bapa bagi kita manusia yang lemah secara luar-biasa dinyatakan oleh Yesus lewat perumpamaan anak yang hilang (Luk 15:11-32). Bapa itu tetap menerima anaknya yang kembali dengan menyesal setelah dengan kurang ajar meminta warisan bagiannya dan menghambur-hamburkannya dengan hidup berfoya-foya. Bahkan ketika anak itu merasa tak pantas lagi menjadi anaknya dan minta diterima sebagai hambanya, bapa itu tetap merangkul dia sebagai anaknya dan mengadakan pesta untuk anaknya yang kembali itu. Sering kali kejatuhan pada dosa membuat kita juga merasa tak pantas mendekati Tuhan, tapi dengan semakin menjauhiNya kita akan semakin menderita. Sebaliknya bila kita berani bertobat dan kembali padanya Dia akan merangkul kita dan mengatakan yang sama: “Engkaulah anak yang Kukasihi”Jika kita rajin bertemu dengan Bapa seperti Yesus, maka setiap kali kita akan mendengarkan sabda peneguhan Bapa “Inilah anakKu yang Ku kasihi, kepadamulah Aku berkenan”. Dengan demikian kita juga akan teguh melaksanakan misi panggilan kita, misi yang memberi makna hidup saya, sesuai maksud Bapa menghadirkan saya di dunia ini. Kita sadar perasaan kita mudah terombang-ambing, maka kita perlu jangkar yang teguh seperti Yesus, yakni DOA dalam makna yang demikian itu.
- Sejujurnya bagaimana gambaran diri anda? Cenderung positif atau negatif? Keras atau penuh kasih?
- Siapa yang paling membentuk gambaran diri anda selama ini? Sesama, diri sendiri, atau Allah? Dengan cara bagaimana?
- Apakah hidup yang anda jalani sampai saat ini membuat anda bahagia?
- Apa tujuan/misi hidup anda? Siapa/apa yang paling menentukan tujuan hidup anda selama ini? Sesama, diri sendiri, harta, atau Allah?
Comments are closed