Kehidupan, Kematian, dan Kemuliaan

Oleh Rev. Albertus Herwanta, O. Carm

Untuk apa kita hidup? Apa makna hidup ini? Mengapa orang harus mati? Jika hidup berarti semua yang kita miliki, kematian merupakan hal terburuk bagi kita. Pada saat mati kita meninggalkan semua prestasi dan yang kita miliki. Semua jerih payah dan upaya terasa sia-sia. Yang selama ini kita genggam erat-erat jatuh ke tangan orang lain.

Namun, kehidupan yang sementara ini adalah bagian dari keabadian. Kematian itu bukan nasib buruk yang bikin ngeri, melainkan pintu gerbang menuju kemuliaan yang menanti. Karena Putra Allah memilih untuk menanggung kematian, kita perlu melihat kematian secara berbeda.

Bacaan Injil hari ini (Yohanes 13:31-33a.34-35) berbicara tentang kematian Yesus yang segera tiba sebagai saat kemuliaan-Nya. “Sekarang ini Anak Manusia dimuliakan, dan Allah dimuliakan di dalam Dia” (Yohanes 13:31). Yesus mengucapkannya setelah Yudas meninggalkan Perjamuan Terakhir untuk mengkhianati-Nya.

Dari sudut pandang duniawi, tidak ada yang menganggap pengkhianatan dan kematian yang kejam sebagai momen ketika Allah dimuliakan. Namun, dari perspektif surgawi dan kekal, kematian Yesus adalah kemuliaan terbesar yang dapat Dia tawarkan kepada Bapa.

Kebangkitan Kristus yang menjadi dasar iman kita mengubah segalanya, termasuk kematian. Oleh karena itu, kita mesti melihat kehidupan manusia seperti Allah melihatnya. Apa yang kita jalani dalam kehidupan ini? Apa tujuan kita? Jika kita menemukan bahwa kita terlalu fokus pada kesenangan sesaat, kekayaan materi, tujuan egois, dan ambisi yang sementara, kini waktunya untuk merenungkan pelajaran tentang kemuliaan Yesus.

Dengan menghadapi kematian-Nya sendiri sebagai kesempatan untuk memuliakan Bapa, Yesus membuat kita mampu melakukan hal yang sama. Benar, akan selalu ada kesedihan terkait dengan kepergian orang yang dicintai, tetapi harapan akan surga dan kemuliaan kekal menjadi lensa yang kita gunakan untuk melihat semua hal dalam kehidupan ini.

Selama menjalani kehidupan ini, penting melihat salib yang telah Tuhan berikan sebagai gerbang menuju kemuliaan kekal. Salib bukan hanya penderitaan; salib itu panggilan kita untuk berkorban. Korban sejati menemukan makna ketika dilakukan dalam kasih.

Inilah panggilan yang Tuhan berikan kepada kita, yakni meletakkan nyawa kita untuk orang lain, melayani orang lain, mengampuni kesalahan, mencintai orang berdosa, menunjukkan belas kasih dan kasih sayang kepada mereka yang membutuhkan. Kita melakukan semua ini sebagai tanggapan terhadap kehendak Allah yang sempurna.

Salib-salib dalam kehidupan kita adalah kesempatan untuk mencintai dalam bentuknya yang paling murni. Inilah cara Yesus dalam melihat Salib-Nya. Dengan cara itu pula hendaknya kita melihat salib kita. Apakah kita terbuka terhadap tawaran itu?

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Latest Comments