Oleh Petter Sandjaya
Hari minggu kemarin, dalam misa KKI Minggu Paskah ke-3 di St. Martin de Porres, Laverton, bacaan Injil mengambil cerita Petrus yang ditanya oleh Yesus sampai 3x: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedihlah hati Petrus karena ia teringat akan pengkhianatan yang dilakukannya dengan tidak mau mengakui hubungannya dengan Yesus ketika Yesus diadili. Pengkhianatan ini sama artinya dengan 3 tahun kebersamaan mereka tidak berarti apa-apa. 3 tahun kebersamaan mereka tidak memberi kisah yang bermutu. Dan 3 tahun kebersamaan mereka dianggap sesuatu yang mudah dilupakan dan sepele.
Saya mempunyai anak yang baru beranjak remaja dengan usia 12 tahun yang mulai saya perbolehkan untuk bermain HP asalkan masih di dalam rumah. Rasa diabaikan ini mulai terasa ketika saya menyadari ketika anak kami ini begitu semangat dan antusias sekali, bahkan tertawa terbahak-bahak ketika ngobrol dengan teman-temannya yang bisa berlangsung berjam-jam. Tapi ketika bareng bersama keluarga dimana dia tidak kami bolehkan bermain hp, dia sama sekali ga ngomong 1 kata pun. Kalau diajak bicara pun jawabannya hanya 1-2 kata saja.
Dalam kotbah, pastur menjelaskan, Yesus masih mau memaafkan Petrus. Dia bahkan kembali kepada Petrus dan memintanya untuk menggembalakan domba-dombaNya. Sekalipun Petrus tidak mau mengakui Yesus, Ia masih mau memaafkan Petrus. Lalu “bola panasnya” kembali kepada saya, maukah saya memaafkan anak saya sendiri, yang sudah menghiraukan saya selama ini, yang menganggap temannya lebih penting dari keluarganya?
Selepas misa selesai sesegera mungkin saya menghampiri anak tertua saya itu menceritakan kembali apa yang saya dapat dalam kotbah pastur tadi, dan bilang ke dia bahwa saya mau memaafkan dia yang selalu menghiraukan saya dan menganggap temannya lebih penting dari saya. Sesungguhnya, hati ini masih panas dan tidak rela, tapi sejauh yang saya tahu, ini adalah aksi terbaik dari orangtua untuk anaknya. Lalu saya cium pipinya dan saya peluk dia, sebagai akhir dari pembicaraan kami.
Keluar dari gereja, kami dihidangkan bakso panas oleh tim konsumsi KKI yang antriannya tidak habis-habis, sampai tim konsumsinya pun ga sempat makan siang. Saya liat pastur duduk sendirian di bawah pohon rindang sebelah semprotan pemadam kebakaran. Segeralah saya hampiri untuk minta di “semprot” biar gunda dan panas yang tersisa di hati dan di lidah (karena baksonya pedas) cepat mereda. Lalu saya ceritakan tentang situasi saya yang saya ceritakan di atas tadi, dan beginilah “semprotan” pastur:
“Tubuh manusia itu terdiri dari mulekul dan cel yang mampu membelah dan memisahkan diri. Begitu pula anak kita, pada akhirnya nanti akan memisahkan diri dari kita dan membentuk keluarga sendiri. Masih bagus dia masih mau di rumah, nanti 6 tahun lagi ketika dia sudah bisa nyetir atau boleh pergi sendiri, akan semakin jarang di rumah.”
Di jalan pulang sambil nyetir, saya ceritakan kembali semua kisah ini kepada istri saya sambil didengar anak saya yang duduk di belakang mobil. Begini “semprotan” dari istri saya:
“Waktu saya kecil, setiap kali saya dan adik-adik lagi kumpul bareng dan papi kami datang, kami semua langsung ‘Bubar, jalan!’ Tidak ada yang menyukai papi karena dia egois dan sukanya menuntut semua orang rumah harus ikut kata dia. Remot TV sudah pasti dia yang pegang dan tontonan hanya bisa yang dia tonton.. Sampai suatu hari dia menyadari kenapa tiap kali dia datang, semua langsung kabur? Dan saya sebagai anak tertua memberanikan diri untuk memberitahu, kalau papi marah-marah terus, ga akan ada yang suka sama papi!”
Segeralah saya langsung menyadari bahwa apa yang saya lakukan ke anak saya tadi, yaitu meminta maaf terlebih dahulu, menjadi bukan suatu hal yang bikin panas, bahkan menenangkan. Karena saya mau anak saya mencintai saya. Saya mau anak saya tidak menghindari saya. Saya mau dia mencari saya pada saat dia membutuhkan saya. Jadi apabila jalannya memang saya harus dicuekin dan dihiraukan, biarlah, asalkan dia mencari saya pada saat dia membutuhkan. Dan semoga Tuhan memberikan suasana hati yang damai supaya keinginan untuk dihargai dan direspeki itu hilang. Karena ada pepatah Indo yang terkenal “ada uang abang disayang. Ga ada uang abang ditendang” alias kalo butuh baru nyari, kiranya tidak membuat saya mencari rasa hormat dari anak melainkan rasa damai karena tidak mengharapkan respek dan hormat itu.
“Mencintai memang baik. Namun kemelekatan dan fanatisme mengaburkan akal sehat.”
No responses yet